A.
ESENSIALISME
esensialisme
dikenal sebagai gerakan pendidikan dan juga sebagai aliran filsafat pendidikan.
Esensialisme berusaha mencari dan mempetahankan hal-hal yang esensial, yaitu
sesuatu yang bersifat inti atau hakikat fundamental, atau unsur mutlak yang
menentukan keberadaan sesuatu menurut esensialisme, yang esensial tersebut
harus diwariskan kepada generasi muda agar dapat bertahan dari waktu ke waktu
karena itu esensialisme tergolong tradisionalisme.[1]
Kata
esensialisme menurut kamus besar bahasa indonesia terdapat dua kata, yaitu
“esensi” yang berarti “hakikat, inti, dasar” dan ditambahkan menjadi “esensial”
yang berarti “sangat perinsip, sangat berpengaruh, sangat perlu”.[2]
Pandangan
Esensialisme Mengenai Kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah
berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Herman Harrel Home
dalam bukunya mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan alas
fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang
ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan di tujukan kepada yang
serba baik. Atas ketentuan ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak
terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah di tentukan.
Filsafat
pendidikan yang disarankan oleh William C. Bagley memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1.
Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya
belajar awal yang meningkat atau menarik perhatian bukan karna dorongan dari
dalam diri siswa.
2.
Pengawasan pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah
melekat dalam masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang
khusus pada spesis manusia.
3.
Oleh karena kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan
pendidikan, maka menegakkan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk
mencapai tujuan tersebut.
4.
Esensialime menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang
pendidikan , sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan
sebuah teori yang lemah.[3]
Peran
Guru dan peran siswa
Guru atau pendidik berperan sebagai mediator
atau jembatan antara dunia masyarakat atau orang dewasa dengan dunia anak. Guru
harus disiapkan sedemikian rupa agar secara teknis mampu melaksanakan perannya
sebagai pengarah proses belajar. Adapun secara moral guru haruslah orang
terdidik yang dapat dipercaya. Dengan denikian inisiatif dalam pendidikan
ditekankan pada guru, bukan pada peserta didik.
Peran peserta didik adalah belajar, bukuan
untuk mengatur pelajaran. Menurut idealisme belajar, yaitu menyesuaikan diri
pada kebaikan dan kebenaran seperti yang telah ditetapkan oleh yang absolut.
Sedangkan menurut realisme belajar berarti penyesuaian diri terhadap masyarakat
dan alam. Belajar berarti menerima dan mengenal dengan sungguh-sungguh
nilai-nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi
dan diteruskan kepada angktan berikutnya.[4]
Metode pendidikan
Metode
pendidikan esensialisme menyarankan agar sekolah-sekolah mempertahankan
metode-metode tradisional yang berhubungan dengan disiplin mental. Metode problem
solving memang ada manfaatnya, tetapi bukan prosedur yang dapat diterapkan
dalam seluruh kegiatan belajar.
Contoh:
orang saat ini lebih suka menggunakan
peralatan-peralatan yang mudah dan canggih. Misalnya saja ketika mau bepergian
jauh, orang tinggal memilih mau pakai motor, bus, kereta api atau pesawat
terbang. Dahulu, orang bepergian jauh menggunakan kuda. Karna, tetap
menggunakan konsep. bahwa budaya adalah sebuah proses yang dinamis. Bukan untuk
mempertahankan seutuhnya, tetapi untuk mempertahankan nilai-nilai dan hasil
karya yang relevan. Termasuk di dalamnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai
agama.
A.
PERENIALISME
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam
pendidikan yang lahir pada abad ke 20. Perenialisme lahir dari suatu reaksi terhadap
pendidikan progresif perenialis menentang pandangan progresivisme yang
menekankan perubahan dan suatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia
dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, terutama dalam kehidupan moral,
intelektual, dan sosiokultural.[5]
Menurut Kamus Besar Indonesia, perenialisme
mengandung kata “perenial” yang berarti “dapat hidup terus menerus”.[6]
Sedangkan menurut Zuhairini, perenialisme diambil dari kata “perennial” yang
dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan
sebagai “continuing thoughout the whole year” atau “lasting for a very long
time” yang artinya abadi atau kekal.[7]
Dari makna yang terkandung dalam kata itu adalah aliran perenialisme mengandung
kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang
bersifat kekal abadi.
Pandangan Perenialisme Mengenai Pendidikan
Menurut
Dinn Wahyudin dalam bukunya, adapun pandangan aliran perenialisme yang
berkauitan dangan pendidikan yaitu:
Perenialisme memandang edukation as cultural regresion:
pendidikan sebagai jalan kembali,atau proses mengembalikan keadaan manusia
sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau yang dianggap sebagai kebudayaan
yang ideal. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai
kebenaran yang pasti, absolut, dan abadi yang terdapat dalam kebudayaan masa
lampau yang dipandang kebudayaan ideal tersebut.
Sejalan dengan hal diatas, perenialist percaya
bahwa prinsip-prinsip pendidikan juga bersifat universal dan abadi. Robert M.
Hutchins mengemukakan ”Pendidikan mengimplikasikan pengajaran. Pengajaran
mengiplikasikan pengetahuan. Pengetahuan adalah kebenaran. Kebenaran dimanapun
dan kapanpun adalah sama”. Selain itu, pendidikan dipandang sebagai suatu
persiapan untuk hidup, bukan hidup itu sendiri.
Perenialisme
Mengenai Kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa
kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan ideal dan organisasi yang
kuat. Bersumber atas pandangan ini, kegiatan-kegiatan pendidikan dilakukan.
Pandangan yang dipaparkan oleh Herman Harrell Horne menulis dalam bukunya yang
berjudul This New Education mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu
bersendikan atas fundamental tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan
ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan
dan ditujukan kepada yang serba baik tersebut. Atas dasar ketentuan ini berarti
bahwa kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan
dengan fundamen-fundamen itu.
Kurikulum pendidikan
bersifat subject centered berpusat pada materi pelajaran. Materi
pelajaran haris bersifat uniform, universal dan abadi, selain itu materi
pelajaran terutama harus terarah kepada pembentukan rasionalitas manusia, sebab
demikianlah hakikat manusia. Mata pelajaran yang mempunyai status tertinggi
adalah mata pelajaran yang mempunyai “rational content” yang lebih besar.
Peranan guru dan
peserta didik
Peran guru bukan
sebagai perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai
“mirid” yang mengalami proses belajar serta mengajar. Guru mengembangkan
potensi-potensi self-discovery, dan ia melakukan moral authority (otoritas
moral) atas murid-muridnya karena ia seorang propesional yang qualifiet dan
superior.
Metode Pendidikan
Metode pendidikan
atau metode belajar utama yang digunakan oleh perenialist adalah membaca dan
diskusi, yaitu membaca dan mendikusikan karya-karya besar yang tertuang dalam the
great books dalam rangka mendisiplinkan pikiran.[8]
Contoh:
Seperti penggunaan metode pembelajaran ceramah dalam
proses belajar mengajar. Dimana pengajaran ini berpusat pada guru sehinggan
menimbulkan bahaya verbalisme dimana orang dapat mengucapkan sesuatu tetapi
tidak pernah melihat dan memahami apa yang diucapkannya. Pada model pembelajaran
seperti ini tidak memberikan kesempatan berbuat dan berpikir untuk memecahkan
masalah. Anak dipaksa mengikuti jalan pikiran guru. Dan anak kurang diberi
kesempatan untuk mengembangkan kemampuan untuk mengeluarkan pendapat. Dalam
memberikan nilai, guru tidak hanya memberikan nilai asli, tetapi juga ada nilai
subyektifnya seperti penilaian kesopanan etika, dan keantusiasan siswa tersebut
dalam mendalami materi yang diajarkan guru tersebut. Sehingga dengan cara itu,
nilai siswa benar-benar asli sesuai dengan kenyataan yang ada pada siswa
tersebut.
B.
PROGRESIVISME
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha
mengembangkan asas progresivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan
adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam
melihat segala sesuatu dari segi keagungannya. Progresivisme dinamakan
instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi
manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, untuk mengembangkan
kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran tersebut
menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen yang merupakan untuk menguji
kebenaran suatu teori. Progressivisme dinamakan environmentalisme karena aliran
ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian.
Progressivisme mempunyai konsep yang didasari
oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai
kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi masalah yang menekan atau
mengecam adanya manusia itu sendiri. Aliran Progressivisme mengakui dan
berusaha mengembangakan asas Progressivisme dalam semua realitas, terutama
dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia,
harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya. Berhubungan
dengan itu progressivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak
otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.
Pandangan Progresivisme Mengenai Pendidikan
Pandangan Progesivisme dan
Penerapannya di Bidang Pendidikan
Aliran filsafat progresivisme telah memberikan
sumbangan yang besar di dunia pendidikan pada abad ke-20, di mana telah
meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik
diberikan kebebasan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan
bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya, tanpa terhambat oleh
rintangan yang dibuat oleh orang lain, Oleh karena itu filsafat progressivisme
tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab, pendidikan otoriter akan
mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang
gembira menghadapi pelajaran. Dan sekaligus mematikan daya kreasi baik secara
fisik maupun psikis anak didik.
Progresivisme
Mengenai Kurikulum
Selain kemajuan atau
progres, lingkungan dan pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari
progresivisme. Untuk itu filsafat progresivisme menunjukkan dengan konsep
dasarnya sejenis kurikulum yang program pengajarannya dapat mempengaruhi anak
belajar secara edukatif baik di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan
sekolal Tentunya dibutuhkan sekolah yang baik dan kurikulum yang baik pula.
Sekolah yang baik
itu adalah sekolah yang dapat memberi jaminan para siswanya selama belajar,
maksudnya yaitu sekolah harus mampu membantu dan menolong siswanya untuk tumbuh
dan berkembang serta memberi keleluasaan tempat untuk para siswanya dalam
mengembangkan bakat dan minatnya melalui bimbingan guru dan tanggung jawab
kepala sekolah. Kurikulum dikatakan baik apabila bersifat fleksibel dan
eksperimental (pengalaman) dan memiliki keuntungan-keuntungan untuk diperiksa
setiap saat.
Peranan guru dan
peserta didik
John Locke
(1632-1704) mengemukakan, bahwa sekolah hendaknya ditujukan untuk kepentingan
pendidikan anak. Sekolah dan pengajaran hendaknya disesuaikan dengan kepentingan
anak (Suparlar 1984: 48). Kemudian Jean Jacques Rosseau (1712-1778), menyataka
anak harus dididik sesuai dengan alamnya; jangan dipandang dari sudut orang
dewasa. Anak bukan miniatur orang dewasa, tetapi anak adalah anak dengan
dunianya sendiri, yaitu berlainan sekali dengan alam orang dewasa.
Hal yang harus
diperhatikan gura adalah "anak didik bukan manusia dewasa yang kecil"
yang dapat diperlakukan sebagaimana layaknya orang dewasa. Guru harus
mengetahui tahap-tahap perkembangan anak didik lewat ilmu psikologi pendidikan.
Sehingga guru akan dapat mengetahui kapan dan saat bagaimana materi itu
diajarkan. Pertolongan pendidikan dilaksanakan selangkah demi selangkah (step
by step) sesuai dengan tingkat dan perkembangan psikologis anak.
Di samping itu, anak
didik harus diberi kemerdekaan dan kebebasan untuk bersikap dan berbuat sesuai
dengan cara dan kemampuannya masing-masing dalam upaya meningkatkan kecerdasan
dan daya kreasi anak. Untuk itu pendidikan hendaklah yang progresive. Di sini
prinsip kebebasan prilaku, di mana anak sebagai subyek pendidikan, sedangkan
guru sebagai pelayan siswa.
Metode Pendidikan
Metode problem solving dan metode proyek telah
dirintis oleh John Dewey (1859-1952) dan dikembangkan oleh W.H Kilpatrick. John
Dewey telah mengemukakan dan menerapkan metode problem solving kedalam proses
pendidikan, melakukan pembaharuan atau inovasi dari bentuk pengajaran
tradisional di mana adanya verbalisme pendidikan. Di sini anak didik dituntut
untuk dapat memfungsikan akal dan kecerdasannya dengan jalan dihadapkan pada
materi-materi pelajaran yang menantang siswa untuk terlibat aktif dalam proses
belajar mengajar. Siswa dituntut dapat berpikir ilmiah seperti menganalisa,
melakukan hipotesa dan menyimpulkannya dan penekanannya terletak kepada kemampuan
intelektualnya. Pengajaran dengan program unit, akan meniadakan batas-batas
antara pelajaran yang satu dengan pelajaran yang lain dan akan lebih memupuk
semangat demokrasi pendidikan.
W.H Kilpatrick mengatakan, suatu kurikulum yang
dianggap baik didasarkan atas tiga prinsip:
1. Meningkatkan kualitas hidup anak didik pada
tiap jenjang.
2. Menjadikan kehidupan aktual anak ke arah
perkembangan dalam suatu kehidupan yang bulat dan menyeluruh.
3. Mengembangkan aspek kreatif kehidupan
sebagai suatu uji coba atas keberhasilan sekolah sehingga anak didik dapat
berkembang dalam kemampuannya yang aktual untuk aktif memikirkan hal-hal baru
yang baik untuk diamalkan, dan dalam hal ini apa saja yang ingin berbuat serta
kecakapan efektif untuk mengamalkan secara bijaksana melalui pertimbangan yang
matang.
Contoh:
pada sekolah SMK atau sekolah menengah kejurusan disini
para siswa dibekali suatu ilmu yang diberikan secara khusus sesuai minat dan
kemampuan masing-masing. Fasilitas yang disediakan menjadikan siswa untuk terus
berkembang tidak pasif. Pengalaman belajar di SMK diperoleh dengan cara siswa
akan berinteraksi langsung dengan alat dan sumber belajar.
[1] Dinn Wahyuni, dkk, Pengantar Pendidikan, Jakarta:
Universitas Terbuka, 2010, hlm.14
[2] Santoso, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka
Agung Harapan, 2012, hlm. 162
[3] Hamdan Ali, Filsafat Pendiddikan, yogyakarta: Kota Kembang,
1986, hlm. 96
[4] Dinn Wahyuni, dkk, Pengantar Pendidikan, Jakarta:
Universitas Terbuka, 2010, hlm.21-22
[5] Sa’dullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Alfabeta,
2009, hlm.151
[6] Santoso, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka
Agung Harapan, 2012, hlm. 390
[7] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 2008, hlm.27
[8] Dinn Wahyuni, dkk, Pengantar Pendidikan, Jakarta:
Universitas Terbuka, 2010, hlm.20-21
penjelasn yang sangat bagus dan sangat mudah di pahami
ReplyDeleteTerimakasih atas penjelasannya.
ReplyDeleteteriakasih atas materinya
ReplyDelete