BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Plato (429-347 SM)
dan neoplatonik yang idealis menganggap bahwa yang substantif adalah sesuatu
yang ada dalam ide, metafisik, dan ini bersifat universal. Sebaliknya,
Aristoteles (348-322 SM) menilai bahwa yang esensial adalah yang objektif,
empirik, dan ini partikular. Al-Ghazali menerima kedua prinsip pemikiran ini
sekaligus dan menggabungkan sebagai satu kesatuan tetapi menolak
masing-masingnya sehingga lahir kosep baru, yaitu realitas yang empiris
sekaligus metafisik, partikular sekaligus universal. Akan tetapi, kesatuan
realitas tersebut tidak bersifat satu dan sama tetapi berbeda dan berjenjang,
dan susunan hierarki masing-masing realitas tersebut ditentukan oleh nilai dan
hubungannya dengan yang mahanilai.
Lain halnya dengan
lapangan metafisika (ketuhanan), Al-Ghazali memberikan reaksi keras terhadap
Neo-Platonisme Islam, menurutnya banyak sekali terdapat kesalahan filusuf,
karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan logika dan matematika.
Untuk itu, Al-Ghazali mengecam secara langsung dua tokoh Neo-Platonisme Muslim
(Al-Farabi dan Ibn Sina), dan secara tidak langsung kepada Aristoteles, guru
mereka.
Berdasarkan latar
belakang tersebutlah pemakalah mencoba menjelaskan hierarki nilai realitas menurut Al-Ghazali dan
bantahan-bantahan Al-Ghazali terhadap pemikiran para filusuf yang berhubungan
dengan metafisika.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana hierarki nilai realitas menurut Al-Ghazali?
2.
Bagaimana sanggahan Al-Ghazali terhadap para filusuf sebelum dirinya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hierarki Nilai Realitas menurut Al-Ghazali
Menurut Al-Ghazali,
semua realitas yang ada ini, dari segi bentuknya, dapat dibagi dalam dua
bagian: empirik atau alam indriawi (alam al-syahadah) dan metafisik atau
alam tidak kasat mata (alam al-malakut atau alam al-ghaib). Dua
bentuk realitas ini tidak sama dan sederajat, tetapi berbeda dan berjenjang
secara hierarkis. Perbandingan antara dua alam ini adalah seperti kulit dengan
isinya, bentuk luar sesuatu dengan ruhnya, kegelapan dengan cahaya, atau
kerendahan dengan ketinggian. Alam malakut disebut alam atas, alam ruhani, dan
alam nurani, sementara alam syahadah adalah alam bawah, alam jasmani dan alam
gelap.
Al-Ghazali lebih lanjut
mengumpamakan perbandingan dan tingkat kedua alam ini dengan cahaya bulan yang
menerobos masuk rumah lewat lubang angin dan jatuh diatas sebuah cermin yang
membiaskan cahaya tersebut kepada dinding didepannya lalu membiaskan lebih
lanjut kelantai sehingga meneranginya. Dalam perumpamaan ini, cahaya dilantai
berasal dari dinding, yang berada didinding berasal dari cermin, yang berada
dicermin berasal dari bulan,dan yang berada dibulan berasal dari matahari yang
merupakan sumber dari cahaya bulan. Keempat cahaya ini, berturut-turut,
sebagian lebih tinggi dan lebih sempurna dibandingkan yang lain.
Menurut Al-Ghazali,
realitas yang ada ini juga tersusun secara hierarkis sebagaimana hierarki
cahaya diatas, dimana cahaya yang paling dekat dengan sumber cahaya pertama.
Dinilai lebih utama dan sempurna dibanding cahaya-cahaya dibawahnya. Dimulai
dari alam indra yang merupakan realitas paling bawah dan rendah, naik pada alam
ghaib pertama, naik pada alam ghaib kedua, dan seterusnya sampai pada alam
ghaib dan bertemu dengan sumber pertama dan utama: Tuhan yang segala realitas
ada dalam kekuasaan dan perintah-Nya. Gagasan tentang hierarki realitas yang
terdiri atas alam ghaib dan indriawi ini, dimana alam ghaib dinilai lebih
tinggi karena dekat dengan sumber pertama, Tuhan, sesungguhnya tidak berbeda
dengan gagasan hierarkiwujud Al-Farabi (870-950 M) yang tercermin dalam teori
emanasinya.
Tentang alam ghaib
sendiri yang disebut juga alam ilahiyah, meski tidak bisa disaksikan dengan
mata indra, tetapi ia bisa disaksikan dengan mata hati (al-bashirah) yang
telah tersucikan. Menurut Al-Ghazali, ketidakmampuan mata indra untuk menangkap
realitas ghaib disebabkan adanya kelemahan yang ada pada dirinya. Pertama, mata
indra tidak mampu melihat dirinya sedang mata hati mampu mencerap pada dirinya
juga sesuatu yang diluar dirinya. Matahari mencerap dirinya sebagai “yang
memiliki pengetahuan dan kemampuan”, dan ia mencerap “pengetahuan yang
dimilikinya”, “pengetahuan tentang pengetahuan yang dimilikinya tentang
dirinya”, dan seterusnya sampai tak terhingga. Ini kekhasan yang sama sekali
tidak dimiliki oleh benda-benda lain yang mencerap dengan mempergunakan sarana
lahiriah seperti mata.
Kedua, mata indra
tidak dapat melihat sesuatu yang terlalu dekat atau terlalu jauh, sementara
bagi mata hati, soal jauh dan dekat adalah sama. Dalam sekejap, mata hati bisa
terbang kelangit dan pada kejapan berikutnya ia meluncur turun kebumi. Bahkan,
jika telah mencapai hakikat segala sesuatu, persoalan dekat dan jauh menjadi hilang. Ketiga, mata indra
tidak dapat menangkap sesuatu yang dbalik hijab (tabir) sementara mata
hati bisa bergerak bebas, bahkan disekitar arasy (singgasana Tuhan), kursy,
dan segala sesuatu yang berada dibalik selubung langit. Bahkan, tidak ada
sesuatupun hakikat segala sesuatu yang terhijab bagi mata hati, kecuali ketika
mata hati menghijab dirinya sendiri sebagaimana mata indra menutup dirinya
denga kelopak matanya.
Keempat, mata indra
hanya dapat menangkap bagian luar serta bagian permukaan segala sesuatu dan
bukan bagian dalamnya atau hakikatnya, sementara mata hati mampu menerobos
bagian dalam segala sesuatu dan segala rahasia-rahasianya, menangkap
hakikat-hakikat dan ruh-ruhnya, menyimpulkan sebab-sebab, sifat-sifat, dan
hukum-hukumnya. Kelima, mata indra hanya mampu menangkap sebagian kecil dari
realiatas. Ia tidak mampu menangkap sesuatu yang terjangkau nalar dan perasaan,
seperti rasa cinta, rindu, bahagia, gelisah, bimbang, dan seterusnya. Ia juga
tidak mampu menangkap bunyi-bunyian, bau, rasa, dan sejenisnya. Jelasnya, mata
indra tidak mempunyai jangkauan yang luas tetapi hanya terbatas pada alam warna
dan bentuk; sesuatu yang menjadi bagian dari realitas paling rendah.[1]
Sementara itu, dari
segi kuantitas, realitas ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu partikular (juz’iyyat)
dan universal (kulliyyat). Partikular adalah wujud rinci yang
diklasifikasikan berdasarkan atas 10 kategori Aristoteles: 1 substansi (jauhar)
dan 9 aksiden (‘aradh), yaitu kuantitas (kammiyah), kualitas (kaifiyah),
relasi (idhafah), dimana (aina), kapan (mata), postur (wadha’),
posesi (lahu), aksi (an yaf ala) dan passi (an
yanfa’ila). Kategori-kategori yang ditolak kaum neo-platonis ini karena
dianggap mereduksi genus dan spesies tersebut, justru diterima Al-Ghazali
secara absolut, bukan karena taklid, melainkan berdasarkan argumen rasional,
yaitu bahwa 10 kategori tersebut oleh akal maupun indra, dan tidak satu pun
dalam wujud ini yang tidak tercakup di dalamnya. Karena itu, tidak ada objek
pengetahuan yang tidak masuk di dalam kategori ini dan tidak ada kata atau
benda kecuali menunjukkan salah satunya.
Adapun realitas
universal, Al-Ghazali membagi dalam dua bagian. Pertama, universal esensial (dzati)
yang mencakup genus (jins), spesies (nau’), dan difference (fashl).
Kedua, universal aksidental (‘aradh), baik yang khusus seperti tertawa
pada manusia atau yang umum seperti sifat bergerak pada materi. Universal
esensial adalah makna abstrak tanpa melihat atribut-atribut luar yang
menyertainya, sedangkan universal aksidental adalah konsep abstrak yang
merupakan generalisasi dari adanya kesamaan-kesamaan dari
partikular-partikular. Perbedaan di antara keduanya adalah bahwa yang pertama
ada dalam konsep mental sekaligus dalam realitas aktual, yaitu bahwa esensi
dari unversalisme tersebut memang benar-benar wujud alam realitas; sementara
yang kedua hanya ada dalam konsep mental, tidak ada dalam realitas aktual,
karena tidak mungkin sesuatu yang satu menjadi atribut bagi berbagai partikular
lainnya dalam waktu yang bersamaan.
Dengan konsep
tersebut, yang dianggap universalisme dalam makna sesungguhnya (primer) adalah
yang pertama, sedangkan universalisme kedua yang hanya ada dalam konsep mental
adalah universalisme sekunder. Dengan itu pula konsep universal harus berkaitan
dengan realitas partikular, karena dari partikular-partikular tersebut bisa
muncul universal. Prosesnya, pertama-tama, indra memberi data-data kepada daya
khayal berupa kopian atas objek-objek sensual sesuai dengan realitas yang ada.
Kopian ini kemudian diolah oleh daya khayal, diklasifikasi unsur-unsur
persamaan dan perbedaannya dengan yang lain sehingga diketahui sifat-sifat
esensial dan aksidentalnya, sifat umum dan khususnya. Dari satuan-satuan konsep
ini, jika hanya berkaitan dengan satu objek tertentu dengan segala atribut yang
menyertainya akan menghasilkan makna partikular; dan jika berkaitan dengan
objek-objek yang lain dan lepas dari atribut-atribut aksidentalnya menghasilkan
makna universal.
Dengan konsep
partikular-partikular tersebut, Al-Ghazali sesungguhnya dapat dianggap sebagai
realis baru yang Platonik-Aristotelian tetapi tidak Aristotelian dan tidak
Platonik. Al-Ghazali tidak disebut Aristotelian, karena ia masih mengakui
adanya alam ghaib sebagai realitas objektif metafisis, sesuatu yang tidak
dikenal oleh Aristoteles; juga tidak disebut Platonik karena Al-Ghazali masih
menganggap adanya substansi partikular, sesuatu yang tidak diakui oleh Plato.
Al-Ghazali menggunakan konsep ini tidak hanya dalam metafisis, tetapi juga
menjadikannya sebagai landasan bagi hierarki ilmu dan prinsip-prinsip
yurisprudensi (ushul al-fiqih) yang digagasnyya, yang kemudian hari
dikembangkan lebih jauh dan serius oleh Al-Syathibi (1336-1388 M) dalam
karyanya, al-Muwafaqat.[2]
B.
Sanggahan Al-Ghazali terhadap Para Filusuf
Al-Ghazali
melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran para filosof. Adapun
yang dimaksudkan para filosof di sini dalam berbagai literatur disebutkan ialah
Aristoteles dan Plato juga Al-farabi dan Ibnu Sina karena kedua filosof Muslim ini dipandang Al-Ghazali sangat bertanggung
jawab dalam menerima dan menyebarluaskan pemikiran filosofis dari Yunani
(Sokrates, Aristoteles, dan Plato) di dunia Islam. Kritik pedas tersebut ia
tuangkan dalam bukunya yang terkenal Tahafut al-Falasifat (The Incoherence
of the philosopher; Kerancuan Pemikiran Para Filosof). Dalam buku ini ia
mendemonstrasikan kepalsuan para filosof beserta doktrin-doktrin mereka.
Sebelumnya, ia mempelajari filsafat tanpa bantuan seorang guru pun dan
menghabiskan waktu selama dua tahun. Setelah berhasil dihayati dengan seksama,
lalu ia tuangkan dalam bukunya maqashid al-Falasifat (Tujuan Pemikiran
Para Filosof). Dengan adanya buku ini ada orang yang mengatakan bahwa ia
benar-benar menguasai argument yang dipergunakan para filosof. Hal ini didukung
oleh pendapat Al-Ghazali yang menegaskan bahwa menolak sebuah mazhab sebelum
memahaminya dan menelaahnya dengan seksama dan sedalam-dalamnya berarti menolak
dalam kebutaan.
Perlu dipahami
bahwa pendapat seperti di atas perlu lebih dicermati, dari kehadiran buku Maqasid
al-Falasifat itu dapat dikatakan bahwa Al-Ghazali menjelaskan maksud dan
tujuan filsafat para filosof, yang tentu saja menurut Al-Ghazali dan belum
tentu cocok dengan pendapat para filosof sendiri. Pendapat ini dapat dibuktikan
ketika ia menkritik bahkan mengkafirkan para filosof yang sebenarnya berbeda
dari maksud para filosof itu sendiri.[3]
Menurut Al-Ghazali,
sebagaimana dikemukakannya dalam bukunya tahafut Al-Falasifah, para
pemikir bebas tersebut ingin menanggalkan keyakinan-keyakinan Islam dan mengabaikan dasar-dasar pemujaan ritual
dengan menganggapnya sebagai hal yang tidak berguna bagi pencapaian intelektual
mereka. Kekeliruan filusuf tersebut ada mencakup 20 persoalan (16 dalam bidang
metafisika dan 4 soal dalam bidang fisika), dalam 17 soal, mereka harus
dinyatakan sebagai ahl al-bida’, sedangkan dalam tiga soal tersebut
berlawanan sekali dengan pendirian semua kaum Muslimin.
Tiga persoalan yang
menyebabkan para filusuf dipandang kafir adalah:
1.
Alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal;
2.
Tuhan tidak mengetahui perincian atau hal-hal partikular (juz’iyyat)
yang terjadi di alam;
3.
Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasyr al-ajsad) di
akhirat.[4]
Menurut Al-Ghazali
kepercayaan dalam tiga masalahini bertentangan dengan kepercayaan umat Islam dan
dipandang mendustakan rasul-rasul Allah, padahal tidak ada golongan Islam mana
pun yang berpendapat seperti ini. Untuk lebih jelasnya, kita bahas uraian yang
dikemukakan Al-Ghazali sebagai berikut:
1.
Masalah Keqadiman Alam
Pada umumnya para filosof Muslim berpendapat bahwa alam
itu qadim, artinya wujud alam bersamaan dengan wujud Allah. Keterdahuluan
(keqadiman) Allah dari alam hanya dari segi at (taqaddum zaty) dan tidak
dari segi zaman (taqaddum zamany), seperti keterdahuluan sebab dari
akibat dan cahaya dari matahari.
Sebenarnya pertentangan antara Al-Ghazali dan filosof
Muslim tentang qadimnya alam hanya pertentangan penafsiran antara teolog muslim
dan filosof muslim. Memang filosof muslim berkeyakinan bahwa penciptaan dari
tiada (nihil) adalah suatu kemusahilan. Dari nihil yang kosong tidak bisa
timbul sesuatu. Hal yang terjadi ialah sesuatu yang diubah menjadi sesuatu yang
lain. Justru itu materi asal (al-hayula al-ula), yang darinya alam ini
disusun, mesti qadim. Materi asal ini diciptakan Allah secara emanasi sejak
qadim dan tidak diantarai oleh zaman. Oleh karna itu, apa yang diciptakan
semenjak qidam dan azali tentu ia akan qadim dan azali. Justru itu alam ini
qadim pula. Interpretasi filosof Muslim ini sudah jelas lebih liberal dari
teolog Muslim dan juga dipengaruhi oleh ilmu alam, akni antara sebab dan
musabbab tidak ada perbedaan. Allah menciptakan alam semenjak azali, berarti
materinya berasal dari energi yang qadim. Sementara susunan materi yang menjadi
alam adalah baru.
Bagi Al-Ghazali, teolog al-Asy’ari yang paling artikulasi
dan terbesar pengaruhnya pada umat islam,kadim mengandung arti tidak berawal,
tidak pernah tidak ada dimasa lampau. Oleh karna itu bisa membawa pengertian
ala mini tidak diciptakan. Menurut al-Ghazali (juga teolog muslim lain) bahwa
yang kadim hanya Allah, sedangkan selain Allah adalah hadis (baharu).
Justru itulah dalam ilmu kalam syahadat lailaha illa Allah, bararti la
qadima illa Allah. Implikasi paham ini akan membawa pada: (1) Paham syirik
karena banyak yang qadim, banyaknya Tuhan; (2) Paham atheisme, alam yang qadim
tidak ada pencipta.
Kedua paham ini, menurut Al-Ghazali, secara tegas tentu
saja bertentangan dengan ajaran dasar dan absolut dalam islam. Oleh karena itu,
menurutnya, alam ini diciptakan oleh Allah dari nihil menjadi ada (al-ijad
min al-adam, creation ex nihilo) dan hal ini dapat didemonstrasikan secara
rasional.
Pendapat Al-Ghazali ini, sebagai teolog muslim, tentu
saja dipengaruhi oleh paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, artinya Allah
dapat berbuat apa pun tanpa ada yang menghalangi-Nya. Oleh karna itu, tidaklah
mengherankan jika ia berpendapat bahwa alam ini diciptakan oleh Allah sesuai
dengan kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya.[5]
2.
Tuhan tidak mengetahui Juz’iyyat (Parsial)
Para filosof muslim, menurut Al-Ghazali berpendapat bahwa
Allah hanya mengetahui dzat-Nya (juz’iyyat). Ibnu Sina mengatakan bahwa
Allah mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang kulli. Alasan para
filosof muslim, Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat, bahwa di alam ini selalu
terjadi perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rinci perubahan tersebut,
hal itu akan membawa perubahan pada zat-Nya. Perubahan pada objek ilmu akan
membawa perubahan pada yang punya ilmu (bertambah atau berkurang). Ini mustahil
terjadi pada Allah.
Pendapat para filosof muslim yang dikemukakan Al-Ghazali
di atas dijawabnya sendiri. Menurutnya pendapat para filosof itu merupakan
kesalahan fatal. Menurut Al-Ghazali lebih lanjut, perubahan pada objek ilmu
tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu merupakan idhafah (sesuatu
rangkaian yang berhubungan dengan dzat). Jika ilmu berubah tidak membawa
kepahaman pada dzat, dengan arti keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak
berubah. Lebih lanjut Al-Ghazali mengemukakan ilustrasi, bila seseorang berada
disebelah kanan anda, lalu berpindah kesebelah kiri, kemudian berpindah kedepan
atau kebelakang, maka yang berubah dia bukan anda. Demikian pula ilmu Allah. Ia
mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (esa) semenjak azali dan
tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya itu mengalami perubahan. Untuk
memperkuat argumennya, Al-Ghazali mengemukakan ayat-ayat Al-Qur’an,
diantaranya:
a.
QS. Yunus
[10]: 61
…وَمَا يَعْزُبُ عَنْ
رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَلَا
أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْبَرَ…
“...tidak luput dari pengetahuan tuhanmu biarpun
sebesar arrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih
kecil (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab
yang nyata (lauh mahfuzh)…”
b.
QS.
Al-Hujurat [49]: 16
…وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا
فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“...dan Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi dan Allah maha mengetahui segala sesuatu”
Perbedaan pendapat antara Al-Ghazali dan para filosof
tentang pengetahuan Allah ini wajar terjadi. Menurut para filosof Muslim
berbedanya objek ilmu membawa perubahan pada ilmu dan dzat. Sementara menurut
Al-Ghazali berbedanya objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu dan dzat.
Perbedaa prinsip akan menyebabkan perbedaan kesimpulan. Al-Ghazali berusaha
menarik masalah pada tataran kongkret, sedangkan para filosof menarik masalah
pada tataran abstrak.
3.
Kebangkitan Jasmani di Akhirat
Mengenai kebangkitan di akhirat, para filsuf memandangnya
bersifat rohaniah, dan terbebas dari unsur-unsur kebendaan. Hal ini karena
masalah kerohaniahan adalah lebih tinggi nilainya, demikian pula yang berkaitan
dengan ke-lezatan dan siksaan di akhirat bersifat lebih tinggi atau lebih
dasyat. Sebab itu, tidak ada keharusan kebangkitan yang bersifat jasmani.[6]
Para filusuf Muslim berpendapat bahwa mustahil
mengembalikan rohani kepada jasad semula. Menurut mereka, rohani setelah
berpisah dengan jasad, berarti kehidupan telah berakhir dan tubuh telah hancur.
Penciptaan kembali berarti penciptaan baru yang tidak sama dengan yang berlalu.
Pengandaian hal ini berarti mengimplikasikan kadimnya suatu hal dan baharunya
hal yang lain. Akan tetapi, jika andaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan
menempuh jalan yang sulit dan panjang,
seperti adanya manusia yang cacat, pincang dan lainny, maka di surga nanti aka
nada sifat kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya.
Padahal di surga suci dari demikian. Jika tidak demikian, maka akan terjadi
proses yang panjang, seperti panjangnya proses kapas sampai menjadi kain.
Menurut Al-Ghazali, kekalnya jiwa setelah mati tidak
bertentangan dengan ajaran agama Islam. Hadis-hadis menyebutkan pula bahwa
roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atau siksa kubur dan lain-lain. Semua
ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sementara itu, kebangkitan jasmani
secara ekspilit telah ditegaskan syaaa’ (agama), dengan arti jiwa dikembalikan
pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru
dijadikkan. Karena tubuh manusia dapat berganti bentuk , seperti dari kecil
menjadi besar, dari kurus menjadi gemuk, dan sebaliknya. Hal yang penting ada
suatu tubuh berbentuk jasmani yang dapat merasakan kepedihan dan kebahagiaan.
Allah Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu. Allah dengan kemahakuasaan-Nya
tidak merasa sulit menjadikan dari setitik sperma menjadi aneka macam organ
tubuh, seperti tulang daging, kulit, urat saraf, otot, lemak, dan sebagainya.
Dari hasil ini ia mempunyai lidah, mata, gigi, dan perasaan yang berbeda antara
setiap manusia. Justru itu bagi Allah jauh lebih mudah mengembalikan rohani
pada tubuh (jasmani) di akhirat ketimbang penciptaan pertama kali.[7]
Dari uraian di atas dapat ditarik suatu pengertian bahwa yang dikehendaki
para filusuf adalah kemungkinan yang rasional tentang kebangkitan dan kehidupan
akhirat. Para filusuf dan Al-Ghazali sama-sama meyakini adanya “kebangkitan” di
akhirat. Perbedaannya adalah bentuk dan bagaimana cara kebangkitan itu. Bagi
filsuf secara rohaniah, sedangkaan bagi
Al-Ghazali secara jasmaniah dan rohaniah.[8]
BAB III
PENUTUPAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian
di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: pertama, pembagian tentang bentuk
dan tingkat kualitas alam oleh Al-Ghazali menjadi dua bagian, yaitu alam atas
dan bawah, yang masing-masing termanifestasikan oleh alam malakut yang
bersih dan mulia dan alam yang kasat mata dan rendah. Para filusuf sebelumnya
juga telah menyatakan hal itu, meski dengan format yang berbeda. Namun, yang
berbeda dari Al-Ghazali, tingkatan ini tidak tersusun secara emanasi
sebagaimana pemikiran filsafat, tetapi berdasarkan imkan yang biasa
dikaji dalam teologi, yaitu bahwa alam dicipta dari sesuatu yang tiada (creation
ex nihilo). Kedua, pemikiran Al-Ghazali tentang dua kutub realitas,
particular dan universal, yang keduanya sama-sama merupakan substansi yang
mempunyai bangunan tersendiri tapi saling berkaitan. Dengan pemikiran ini,
doktrin kaum teolog bahwa semesta diciptakan dari sesuatu yang tiada, bisa dijelaskan
sehingga pebedaan doktrin teologi dan filsafat bisa diselesaikan.
Terjadinya
perbedaan pandangan antara Al-Ghazali dan para filusuf Muslim karena masing-masing
berangkat pada titik pijak yang berbeda. Para filusuf muslim bertolak dari
rasio, sedangkan Al-Ghazali bertolak dari empirik keagamaan. Interpretasi
filusuf Muslim juga lebih liberal dibandingkan dengan teolog Muslim
(Al-Ghazali).
B.
Saran
Dalam pembuatan makalah ini, kami
sebagai penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan, Oleh karena itu
penulis mengharapkan kepada para pembaca agar memberikan kritik dan saran demi
penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
A. Khudori
Soleh, Filsafat Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
Sirajuddin
Zar, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), Jakarta: Rajawali Pers,
2014.
Juhaya S.
Praja, Pengantar Filsafat Islam (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya), Bandung:
Pustaka Setia, 2009.
Hasyimsyah
Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
[1]A. Khudori Soleh, Filsafat Islam,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 136-139.
[2] Ibid, 141-143.
[3] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Filosof dan
Filsafatnya), (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 163-164.
[4] Juhaya S. Praja, Pengantar Filsafat Islam
(Konsep, Filsuf, dan Ajarannya), (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 173-174.
[5] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Filosof dan
Filsafatnya), 171-172.
[6] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), 86.
[7] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Filosof dan
Filsafatnya), 176-177.
[8]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, 86.
No comments:
Post a Comment