Wednesday, December 16, 2015

Esensialisme, Perenialisme, Progresivisme



A.    ESENSIALISME
esensialisme dikenal sebagai gerakan pendidikan dan juga sebagai aliran filsafat pendidikan. Esensialisme berusaha mencari dan mempetahankan hal-hal yang esensial, yaitu sesuatu yang bersifat inti atau hakikat fundamental, atau unsur mutlak yang menentukan keberadaan sesuatu menurut esensialisme, yang esensial tersebut harus diwariskan kepada generasi muda agar dapat bertahan dari waktu ke waktu karena itu esensialisme tergolong tradisionalisme.[1]
Kata esensialisme menurut kamus besar bahasa indonesia terdapat dua kata, yaitu “esensi” yang berarti “hakikat, inti, dasar” dan ditambahkan menjadi “esensial” yang berarti “sangat perinsip, sangat berpengaruh, sangat perlu”.[2]
Pandangan Esensialisme Mengenai Kurikulum
                        Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Herman Harrel Home dalam bukunya mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan alas fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan di tujukan kepada yang serba baik. Atas ketentuan ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah di tentukan.
Filsafat pendidikan yang disarankan oleh William C. Bagley memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal yang meningkat atau menarik perhatian bukan karna dorongan dari dalam diri siswa.
2.      Pengawasan pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah melekat dalam masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spesis manusia.
3.      Oleh karena kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka menegakkan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
4.      Esensialime menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang pendidikan , sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang lemah.[3]
Peran Guru dan peran siswa
Guru atau pendidik berperan sebagai mediator atau jembatan antara dunia masyarakat atau orang dewasa dengan dunia anak. Guru harus disiapkan sedemikian rupa agar secara teknis mampu melaksanakan perannya sebagai pengarah proses belajar. Adapun secara moral guru haruslah orang terdidik yang dapat dipercaya. Dengan denikian inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada peserta didik.
Peran peserta didik adalah belajar, bukuan untuk mengatur pelajaran. Menurut idealisme belajar, yaitu menyesuaikan diri pada kebaikan dan kebenaran seperti yang telah ditetapkan oleh yang absolut. Sedangkan menurut realisme belajar berarti penyesuaian diri terhadap masyarakat dan alam. Belajar berarti menerima dan mengenal dengan sungguh-sungguh nilai-nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan kepada angktan berikutnya.[4]
Metode pendidikan
                        Metode pendidikan esensialisme menyarankan agar sekolah-sekolah mempertahankan metode-metode tradisional yang berhubungan dengan disiplin mental. Metode problem solving memang ada manfaatnya, tetapi bukan prosedur yang dapat diterapkan dalam seluruh kegiatan belajar.
Contoh:
orang saat ini lebih suka menggunakan peralatan-peralatan yang mudah dan canggih. Misalnya saja ketika mau bepergian jauh, orang tinggal memilih mau pakai motor, bus, kereta api atau pesawat terbang. Dahulu, orang bepergian jauh menggunakan kuda. Karna, tetap menggunakan konsep. bahwa budaya adalah sebuah proses yang dinamis. Bukan untuk mempertahankan seutuhnya, tetapi untuk mempertahankan nilai-nilai dan hasil karya yang relevan. Termasuk di dalamnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama.
A.    PERENIALISME
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad ke 20. Perenialisme lahir dari suatu reaksi terhadap pendidikan progresif perenialis menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan suatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosiokultural.[5]
Menurut Kamus Besar Indonesia, perenialisme mengandung kata “perenial” yang berarti “dapat hidup terus menerus”.[6] Sedangkan menurut Zuhairini, perenialisme diambil dari kata “perennial” yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai “continuing thoughout the whole year” atau “lasting for a very long time” yang artinya abadi atau kekal.[7] Dari makna yang terkandung dalam kata itu adalah aliran perenialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.
Pandangan Perenialisme Mengenai Pendidikan
  Menurut Dinn Wahyudin dalam bukunya, adapun pandangan aliran perenialisme yang berkauitan dangan pendidikan yaitu:
Perenialisme memandang edukation as cultural regresion: pendidikan sebagai jalan kembali,atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau yang dianggap sebagai kebudayaan yang ideal. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti, absolut, dan abadi yang terdapat dalam kebudayaan masa lampau yang dipandang kebudayaan ideal tersebut.
Sejalan dengan hal diatas, perenialist percaya bahwa prinsip-prinsip pendidikan juga bersifat universal dan abadi. Robert M. Hutchins mengemukakan ”Pendidikan mengimplikasikan pengajaran. Pengajaran mengiplikasikan pengetahuan. Pengetahuan adalah kebenaran. Kebenaran dimanapun dan kapanpun adalah sama”. Selain itu, pendidikan dipandang sebagai suatu persiapan untuk hidup, bukan hidup itu sendiri.
Perenialisme Mengenai Kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan ideal dan organisasi yang kuat. Bersumber atas pandangan ini, kegiatan-kegiatan pendidikan dilakukan. Pandangan yang dipaparkan oleh Herman Harrell Horne menulis dalam bukunya yang berjudul This New Education mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan atas fundamental tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik tersebut. Atas dasar ketentuan ini berarti bahwa kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen itu.
Kurikulum pendidikan bersifat subject centered berpusat pada materi pelajaran. Materi pelajaran haris bersifat uniform, universal dan abadi, selain itu materi pelajaran terutama harus terarah kepada pembentukan rasionalitas manusia, sebab demikianlah hakikat manusia. Mata pelajaran yang mempunyai status tertinggi adalah mata pelajaran yang mempunyai “rational content” yang lebih besar.
Peranan guru dan peserta didik
Peran guru bukan sebagai perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai “mirid” yang mengalami proses belajar serta mengajar. Guru mengembangkan potensi-potensi self-discovery, dan ia melakukan moral authority (otoritas moral) atas murid-muridnya karena ia seorang propesional yang qualifiet dan superior.
 Metode Pendidikan
Metode pendidikan atau metode belajar utama yang digunakan oleh perenialist adalah membaca dan diskusi, yaitu membaca dan mendikusikan karya-karya besar yang tertuang dalam the great books dalam rangka mendisiplinkan pikiran.[8]
Contoh:
Seperti penggunaan metode pembelajaran ceramah dalam proses belajar mengajar. Dimana pengajaran ini berpusat pada guru sehinggan menimbulkan bahaya verbalisme dimana orang dapat mengucapkan sesuatu tetapi tidak pernah melihat dan memahami apa yang diucapkannya. Pada model pembelajaran seperti ini tidak memberikan kesempatan berbuat dan berpikir untuk memecahkan masalah. Anak dipaksa mengikuti jalan pikiran guru. Dan anak kurang diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan untuk mengeluarkan pendapat. Dalam memberikan nilai, guru tidak hanya memberikan nilai asli, tetapi juga ada nilai subyektifnya seperti penilaian kesopanan etika, dan keantusiasan siswa tersebut dalam mendalami materi yang diajarkan guru tersebut. Sehingga dengan cara itu, nilai siswa benar-benar asli sesuai dengan kenyataan yang ada pada siswa tersebut.

B.     PROGRESIVISME
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progresivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya. Progresivisme dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen yang merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori. Progressivisme dinamakan environmentalisme karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian.
Progressivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi masalah yang menekan atau mengecam adanya manusia itu sendiri. Aliran Progressivisme mengakui dan berusaha mengembangakan asas Progressivisme dalam semua realitas, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya. Berhubungan dengan itu progressivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.
Pandangan Progresivisme Mengenai Pendidikan
                        Pandangan Progesivisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
Aliran filsafat progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan pada abad ke-20, di mana telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebebasan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya, tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain, Oleh karena itu filsafat progressivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab, pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran. Dan sekaligus mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun psikis anak didik.
Progresivisme Mengenai Kurikulum
Selain kemajuan atau progres, lingkungan dan pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari progresivisme. Untuk itu filsafat progresivisme menunjukkan dengan konsep dasarnya sejenis kurikulum yang program pengajarannya dapat mempengaruhi anak belajar secara edukatif baik di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolal Tentunya dibutuhkan sekolah yang baik dan kurikulum yang baik pula.
Sekolah yang baik itu adalah sekolah yang dapat memberi jaminan para siswanya selama belajar, maksudnya yaitu sekolah harus mampu membantu dan menolong siswanya untuk tumbuh dan berkembang serta memberi keleluasaan tempat untuk para siswanya dalam mengembangkan bakat dan minatnya melalui bimbingan guru dan tanggung jawab kepala sekolah. Kurikulum dikatakan baik apabila bersifat fleksibel dan eksperimental (pengalaman) dan memiliki keuntungan-keuntungan untuk diperiksa setiap saat.
Peranan guru dan peserta didik
John Locke (1632-1704) mengemukakan, bahwa sekolah hendaknya ditujukan untuk kepentingan pendidikan anak. Sekolah dan pengajaran hendaknya disesuaikan dengan kepentingan anak (Suparlar 1984: 48). Kemudian Jean Jacques Rosseau (1712-1778), menyataka anak harus dididik sesuai dengan alamnya; jangan dipandang dari sudut orang dewasa. Anak bukan miniatur orang dewasa, tetapi anak adalah anak dengan dunianya sendiri, yaitu berlainan sekali dengan alam orang dewasa.
Hal yang harus diperhatikan gura adalah "anak didik bukan manusia dewasa yang kecil" yang dapat diperlakukan sebagaimana layaknya orang dewasa. Guru harus mengetahui tahap-tahap perkembangan anak didik lewat ilmu psikologi pendidikan. Sehingga guru akan dapat mengetahui kapan dan saat bagaimana materi itu diajarkan. Pertolongan pendidikan dilaksanakan selangkah demi selangkah (step by step) sesuai dengan tingkat dan perkembangan psikologis anak.
Di samping itu, anak didik harus diberi kemerdekaan dan kebebasan untuk bersikap dan berbuat sesuai dengan cara dan kemampuannya masing-masing dalam upaya meningkatkan kecerdasan dan daya kreasi anak. Untuk itu pendidikan hendaklah yang progresive. Di sini prinsip kebebasan prilaku, di mana anak sebagai subyek pendidikan, sedangkan guru sebagai pelayan siswa.
Metode Pendidikan
Metode problem solving dan metode proyek telah dirintis oleh John Dewey (1859-1952) dan dikembangkan oleh W.H Kilpatrick. John Dewey telah mengemukakan dan menerapkan metode problem solving kedalam proses pendidikan, melakukan pembaharuan atau inovasi dari bentuk pengajaran tradisional di mana adanya verbalisme pendidikan. Di sini anak didik dituntut untuk dapat memfungsikan akal dan kecerdasannya dengan jalan dihadapkan pada materi-materi pelajaran yang menantang siswa untuk terlibat aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa dituntut dapat berpikir ilmiah seperti menganalisa, melakukan hipotesa dan menyimpulkannya dan penekanannya terletak kepada kemampuan intelektualnya. Pengajaran dengan program unit, akan meniadakan batas-batas antara pelajaran yang satu dengan pelajaran yang lain dan akan lebih memupuk semangat demokrasi pendidikan.
W.H Kilpatrick mengatakan, suatu kurikulum yang dianggap baik didasarkan atas tiga prinsip:
1. Meningkatkan kualitas hidup anak didik pada tiap jenjang.
2. Menjadikan kehidupan aktual anak ke arah perkembangan dalam suatu kehidupan yang bulat dan menyeluruh.
3. Mengembangkan aspek kreatif kehidupan sebagai suatu uji coba atas keberhasilan sekolah sehingga anak didik dapat berkembang dalam kemampuannya yang aktual untuk aktif memikirkan hal-hal baru yang baik untuk diamalkan, dan dalam hal ini apa saja yang ingin berbuat serta kecakapan efektif untuk mengamalkan secara bijaksana melalui pertimbangan yang matang.
Contoh:
pada sekolah SMK atau sekolah menengah kejurusan disini para siswa dibekali suatu ilmu yang diberikan secara khusus sesuai minat dan kemampuan masing-masing. Fasilitas yang disediakan menjadikan siswa untuk terus berkembang tidak pasif. Pengalaman belajar di SMK diperoleh dengan cara siswa akan berinteraksi langsung dengan alat dan sumber belajar.


[1] Dinn Wahyuni, dkk, Pengantar Pendidikan, Jakarta: Universitas Terbuka, 2010, hlm.14
[2] Santoso, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Agung Harapan, 2012, hlm. 162
[3] Hamdan Ali, Filsafat Pendiddikan, yogyakarta: Kota Kembang, 1986, hlm. 96
[4] Dinn Wahyuni, dkk, Pengantar Pendidikan, Jakarta: Universitas Terbuka, 2010, hlm.21-22
[5] Sa’dullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2009, hlm.151
[6] Santoso, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Agung Harapan, 2012, hlm. 390
[7] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, hlm.27
[8] Dinn Wahyuni, dkk, Pengantar Pendidikan, Jakarta: Universitas Terbuka, 2010, hlm.20-21

3 comments: