Tuesday, December 8, 2015

Hadist Mutawattir Menurut Perspektiff Ulama' Hadist



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
          Latar belakang di buatnya makalah ini tidak lain agar kita semua tahu, bahwasanya Ilmu hadist yang sedang kita kaji sekarang adalah suatu disiplin ilmu yang sangat penting dalam aspek mengkaji islam. Disini pemakalah mencoba untuk mengurai dan mengklarifikasi tentang hadist yang ditinjau dari segi kuantitas mulai dari definisi, ragam, contoh yang berkaitan dengan hadist mutawatir ini. Hadits mutawatir ditinjau secara etimologi diambil dari isim fa'il yang diambil dari  lafadz at-tawatur yang berarti beriring-iringan atau terus menerus, sedangkan hadis mutawatir ditinjau secara terminologi ialah hadits yang diriwayatkan oleh segolongan rawi banyak, dimana materi atau esensi hadits tersebut bersifat indrawi, yang mana menurut rasio atau logika para perawi tersebut mustahil melakukan konspirasi kebohongan, dan adanya segolongan rawi banyak itu terdapat di dalam semua thabaqahnya, jika terdiri dari beberapa thabaqah.
Dengan tujuan agar kita dapat memahami, memilah, dan mampu menganalisis hadist mutawatir serta merumuskan gambaran awal keberadaan hadist mutawatir tersebut.
    



Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian hadits mutawatir menurut ilmu hadits ?
  2. Bagaimana Klasifikasi hadis mutawatir ditinjau dari ilmu hadits ?
  3. Apa saja kitab-kitab yang merangkum tentang hadits mutawatir ?




BAB II
PEMBAHASAN
Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir ditinjau secara etimologi diambil dari isim fa'il yang diambil dari  lafadz at-tawatur yang berarti beriring-iringan atau terus menerus, sedangkan hadis mutawatir ditinjau secara terminologi ialah hadits yang diriwayatkan oleh segolongan rawi banyak, dimana materi atau esensi hadits tersebut bersifat indrawi, yang mana menurut rasio atau logika para perawi tersebut mustahil melakukan konspirasi kebohongan, dan adanya segolongan rawi banyak itu terdapat di dalam semua thabaqahnya, jika terdiri dari beberapa thabaqah.[1]

Berdasarkan definisi tersebut, sebuah hadits dapat disebut hadist mutawatir jika telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut, yaitu:
1.        Harus diriwayatkan oleh banyak jalur perawi yakni adanya konsistensi jumlah perawi pada setiap thabaqat, artinya jika salah satu dari tingkatan sanad tersebut ada yang tidak mencapai jumlah minimal yang telah disepakati, maka sanad tersebut tidak dikategorikan sebagai sanad yang mutawatir, tetapi disebut sebagai sanad yang ahad.
2.        Menurut pertimbangan rasio, mereka mustahil melakukan konspirasi kebohongan, atau mengadakan suatu perkumpulan untuk berdusta, atau dipaksa oleh penguasa untuk berdusta karena rawi-rawi itu orang banyak yang berbeda-beda dari berbagai kalangan dan profesi.
3.        Rawi  banyak yang meriwayatkan dari rawi yang banyak pula, mulai dari permulaan sampai pada akhir sanadnya.


4.        Sandaran akhir (hadits yang diriwayat) dari rawi-rawi itu  harus berdasarkan sesuatu yang indrawi (diterima mulai dari indra pengelihatan, pendengaran, penciuman, peraba, dan perasa).
Dan jika keempat syarat tersebut terpenuhi, maka sudah tentu akan diperoleh pengetahuan akan adanya kepastian kebenaran hadis tersebut.
Mengenai jumlah banyaknya jalur perawi, para ulama’ bebrbeda pendapat, ada yang berpendapat sekurang-kurangnya empat sanad, bahkan ada yang mengatakan dua puluh sanad, bahkan ada yang mengatakan empat puluh sanad, tetapi yang paling ideal, sekurang-kurangnya hadist itu diriwayatkan oleh sepuluh sanad.[2]
Mengingat begitu sulitnya terpenuhi syarat kemutawatiran suatu hadist, maka tidak banyak periwayatan hadist mutawatir, oleh karena begitu ketatnya persyaratan hadist mutawatir tersebut, maka hukum hadist mutawatir adalah maqbul (dapat diterima dan diamalkan). 
Hadis mutawatir merupakan suatu ilmu dharuri yaitu ilmu yang tidak membutuhkan suatu observasi karena sudah jelas dan didukung oleh keyakinan yang kuat. Orang yang mengingkari hadis mutawatir dihukumi kafir.[3]

B.        Klasifikasi hadis mutawatir
  1. Mutawatir lafdzi
Yaitu mutawatir dalam satu masalah yang diriwayatkan menggunakan lafadz satu atau lebih namun satu makna, atau menggunakan susunan kata yang berbeda tapi satu pengertian, yaitu tetap dalam satu konteks masalah itu, yakni hadis yang sama lafadz, hukum, dan maknanya.[4]
     Seperti contoh hadis:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من كذب علي متعمد فليتبوأ مقعده من النار.
Barang siapa yang berbuat dusta kepadaku dengan sengaja maka hendakalah dia menempati tempat duduknya di neraka. (H.R. Bukhari)

hadis tersebut diriwayatkan oleh segolongan banyak sahabat. Menurut sebagian ulama' hadis, hadis tersebut diriwayatkan dari Nab Saw oleh enam pulu dua sahabat, dan diantara mereka terdapat sepuluh orang sahabat yang sudah diakui oleh Nabi Saw masuk surga. Hadis tersebut terdapat pada sepuluh kitab, yaitu Al-Bukhari, Muslim, ad-Darimi, Abu Dawud, Ibn Majah, at-Tirmidzi, ath-Thabrani, dan al-Hakim, Menurut Ibnu Al-Shalah, bahwa hadis mutawatir lafdzi itu langka.
  1. Mutawatir maknawi
Yaitu hadis yang mutawatir dalam kejadian yang berbeda-beda, tetapi ada suatu kesamaan yang ditujukan oleh hadis itu, baik dari segi isi maupun makna yang tersirat, yakni hadist yang berlainan bunyi dan maknanya, akan teapi dapat diambil maknanya[5]
Diantara contoh-contoh hadis mutawatir maknawi ialah seperti hadis yang menerangkan danau Nabi Saw di akhirat. Hadis yang menerangkan hal ini diriwayatkan oleh lebih dari lima puluh sahabat, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Baihaqi dalam kitabnya Al-Ba'tsu wa Al-Nusyur. Bahkan Imam Al-Dhiya' Al-Maqdiri telah menghimpun hadis-hadis tersebut dalam kitab Al-Jam'u
Diantaranya lagi ialah hadis-hadis yang menerangkan syafa'at. Menurut Al-Qhadi'Iyadh, bahwa kuantitas rawi dari hadis-hadis tentang syafa'at ini mencapai tingkat mutawatir, sebagaimana hadis-hadis yang menjelaskan tentang mengusap sepatu. Menurut Ibnu Abdi Al-Bar, hadis tentang hal ini tingkat mutawatir
Diantara contoh hadis mutawatir lainnya ialah
مارفع رسول الله صلى الله عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض في شيء من دعا ئه إلا في الإستسقاء
Rasulullah Saw. Tidak menganangkat kedua tangan ketika dalam berdo’anya selain dalam shalat istisqa’ (shalat minta hujan), dan beliau mengangkat kedua tangannya sehingga tampak putih kedua ketiaknya.
 seperti hadist diatas. Hadis tentang hal ini dari Nabi kurang lebih dari seratus hadis. Dimana masing-masing dalam hadis itu tersirat makna Rasulullah Saw mengangkat kedua tangannya ketika berdo'a.
Imam Al-suyhuti mengatakan, bahwa hadis-hadis ini telah dihimpunnya dalam satu juz namun dalam pembahasan yang berbeda-beda, setiap masalah secara kuantitatif tidak mencapai tingkat mutawatir, namun dari makna yang tersirat dalam dalam hadis-hadis tersebut (Nabi Saw mengangkat kedua tangannya sewaktu berdo'a) ditinjau dari sisi terhimpunnya hadis-hadis, hal itu dapat mencapai tingkat mutawatir maknawi.[6]
Hadist yang semakna dengan hadist diatas antara lain hadist-hadist Yang ditakhrij oleh imam Ahmad, al-Hakim, dan Abu Daud yang berbunyi:
كان يرفع  يديه حذو منكبيه.
yang artinya: Rasulullah Saw mengangkat kedua tangan sejajar kedua dengan kedua pundaknya.[7]
  1. Mutawatir amali
Yaitu amalan agama (ibadah) yang dikerjakan Rasulullah Saw, kemudian di ikuti para shahabat, lalu para tabi’in, dan seterusnya sampai pada generasi kita sekarang ini. Contohnya adalah jumlah rakaat dan waktu shalat fardhu. Walaupun periwayatan verbalnya tidak mencapai mutawatir tetapi secara amali telah menjadi ijma’ al-Ummah. dari hadis mutawatir, sama kedudukannya dengan keyakinan yang diperoleh melalui kesaksian langsung dengan panca indra, oleh karena itu ia berfaidah sebagai ilmu dharuri (pengetahuan yang mesti diterima), sehingga membawa keyakinan yang qath’i. oleh karena itu petunjuk yang diperoleh dari hadist mutawatir wajib diamalkan.[8]
C.  Kitab-kitab tentang Hadits-hadits Mutawatir
                        Sebagaimana ulama’ telah mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam kitab tersendiri. Diantara kitab-kitab tersebut adalah:

1.      Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-suyhuti, berurutan berdasarkan kitab.
2.      Qath Al-Azhar, karya As-Suyhuti, ringkasan kitab diatas.
3.      Al-La’ali’ Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Damsyqi
4.      Nazhm Al-Mutanatsirah mim Al-Hadits Al-Mutawatirah karya Muhammad Ja’far Al-Kattani.


















BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah pemakalah paparkan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, diantaranya adalah:
                Hadits mutawatir ditinjau secara etimologi diambil dari isim fa'il yang diambil dari masdar lafadz at-tawatur maksudnya at-tatabu' yang berarti beriring-iringan atau terus menerus, sedangkan hadis mutawatir ditinjau secara terminologi ialah hadits yang diriwayatkan oleh segolongan rawi banyak, dimana materi atau esensi hadits tersebut bersifat indrawi, yang mana menurut rasio atau logika para perawi tersebut mustahil melakukan konspirasi kebohongan.
                Klasifikasi hadits mutawatir menurut ilmu hadist terbagi menjadi tiga yaitu: Mutawatir lafdzi, Mutawatir maknawi, Mutawatir amali.
                Kitab-kitab yang menjelaskan hadits mutawatir secara tersendiri yaitu: Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-suyhuti, Qath Al-Azhar, karya As-Suyhuti, Al-La’ali’ Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Damsyqi, Nazhm Al-Mutanatsirah mim Al-Hadits Al-Mutawatirah karya Muhammad Ja’far Al-Kattani.





DAFTAR PUSTAKA
Thahan, Mahmud, Taysir Mustholah al-Hadis, Beirut: Dar al-Fikr,
Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Usul Hadis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006,
Rahman, Fathur, Ikhtisar Musthalahul Hadist, Bandung: al-Ma’arif, 1987,
Soetari, Endang, Ilmu Hadis: Kajian Diriwayah dan Dirayah, Bandung: Mimbar Pustaka,
Sunan Ampel, MKD IAIN, Ilmu Kalam, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011),


[1] Mahmud at-Thahan, Taysir Mustholah al-Hadis, Dar al-Fikr, h. 19.
[2] Mahmud at-Thahan, Taysir Mustholah al-Hadis, Dar al-Fikr, h. 19.
[3] Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Usul Hadis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, h. 90.
[4] Endang Soetari, Ilmu Hadis: Kajian Diriwayah dan Dirayah, Bandung: Mimbar Pustaka, 2005, h 121.
[5] Endang Soetari, Ilmu Hadis: Kajian Diriwayah dan Dirayah, Bandung: Mimbar Pustaka, 2005, h     121.
[6] Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Usul Hadis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, h. 91.
[7] MKD IAIN Sunan Ampel, Ilmu Hadist, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011, h. 109.
[8] Fathur rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadist, Bandung: al-Ma’arif, 1987, h. 65.

No comments:

Post a Comment