Tuesday, December 8, 2015

Hierarki Nilai Realitas menurut Al-Ghazali



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Plato (429-347 SM) dan neoplatonik yang idealis menganggap bahwa yang substantif adalah sesuatu yang ada dalam ide, metafisik, dan ini bersifat universal. Sebaliknya, Aristoteles (348-322 SM) menilai bahwa yang esensial adalah yang objektif, empirik, dan ini partikular. Al-Ghazali menerima kedua prinsip pemikiran ini sekaligus dan menggabungkan sebagai satu kesatuan tetapi menolak masing-masingnya sehingga lahir kosep baru, yaitu realitas yang empiris sekaligus metafisik, partikular sekaligus universal. Akan tetapi, kesatuan realitas tersebut tidak bersifat satu dan sama tetapi berbeda dan berjenjang, dan susunan hierarki masing-masing realitas tersebut ditentukan oleh nilai dan hubungannya dengan yang mahanilai.
Lain halnya dengan lapangan metafisika (ketuhanan), Al-Ghazali memberikan reaksi keras terhadap Neo-Platonisme Islam, menurutnya banyak sekali terdapat kesalahan filusuf, karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan logika dan matematika. Untuk itu, Al-Ghazali mengecam secara langsung dua tokoh Neo-Platonisme Muslim (Al-Farabi dan Ibn Sina), dan secara tidak langsung kepada Aristoteles, guru mereka.
Berdasarkan latar belakang tersebutlah pemakalah mencoba menjelaskan  hierarki nilai realitas menurut Al-Ghazali dan bantahan-bantahan Al-Ghazali terhadap pemikiran para filusuf yang berhubungan dengan metafisika.
B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana hierarki nilai realitas menurut Al-Ghazali?
2.    Bagaimana sanggahan Al-Ghazali terhadap para filusuf sebelum dirinya?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hierarki Nilai Realitas menurut Al-Ghazali
Menurut Al-Ghazali, semua realitas yang ada ini, dari segi bentuknya, dapat dibagi dalam dua bagian: empirik atau alam indriawi (alam al-syahadah) dan metafisik atau alam tidak kasat mata (alam al-malakut atau alam al-ghaib). Dua bentuk realitas ini tidak sama dan sederajat, tetapi berbeda dan berjenjang secara hierarkis. Perbandingan antara dua alam ini adalah seperti kulit dengan isinya, bentuk luar sesuatu dengan ruhnya, kegelapan dengan cahaya, atau kerendahan dengan ketinggian. Alam malakut disebut alam atas, alam ruhani, dan alam nurani, sementara alam syahadah adalah alam bawah, alam jasmani dan alam gelap.
Al-Ghazali lebih lanjut mengumpamakan perbandingan dan tingkat kedua alam ini dengan cahaya bulan yang menerobos masuk rumah lewat lubang angin dan jatuh diatas sebuah cermin yang membiaskan cahaya tersebut kepada dinding didepannya lalu membiaskan lebih lanjut kelantai sehingga meneranginya. Dalam perumpamaan ini, cahaya dilantai berasal dari dinding, yang berada didinding berasal dari cermin, yang berada dicermin berasal dari bulan,dan yang berada dibulan berasal dari matahari yang merupakan sumber dari cahaya bulan. Keempat cahaya ini, berturut-turut, sebagian lebih tinggi dan lebih sempurna dibandingkan yang lain.
Menurut Al-Ghazali, realitas yang ada ini juga tersusun secara hierarkis sebagaimana hierarki cahaya diatas, dimana cahaya yang paling dekat dengan sumber cahaya pertama. Dinilai lebih utama dan sempurna dibanding cahaya-cahaya dibawahnya. Dimulai dari alam indra yang merupakan realitas paling bawah dan rendah, naik pada alam ghaib pertama, naik pada alam ghaib kedua, dan seterusnya sampai pada alam ghaib dan bertemu dengan sumber pertama dan utama: Tuhan yang segala realitas ada dalam kekuasaan dan perintah-Nya. Gagasan tentang hierarki realitas yang terdiri atas alam ghaib dan indriawi ini, dimana alam ghaib dinilai lebih tinggi karena dekat dengan sumber pertama, Tuhan, sesungguhnya tidak berbeda dengan gagasan hierarkiwujud Al-Farabi (870-950 M) yang tercermin dalam teori emanasinya.
Tentang alam ghaib sendiri yang disebut juga alam ilahiyah, meski tidak bisa disaksikan dengan mata indra, tetapi ia bisa disaksikan dengan mata hati (al-bashirah) yang telah tersucikan. Menurut Al-Ghazali, ketidakmampuan mata indra untuk menangkap realitas ghaib disebabkan adanya kelemahan yang ada pada dirinya. Pertama, mata indra tidak mampu melihat dirinya sedang mata hati mampu mencerap pada dirinya juga sesuatu yang diluar dirinya. Matahari mencerap dirinya sebagai “yang memiliki pengetahuan dan kemampuan”, dan ia mencerap “pengetahuan yang dimilikinya”, “pengetahuan tentang pengetahuan yang dimilikinya tentang dirinya”, dan seterusnya sampai tak terhingga. Ini kekhasan yang sama sekali tidak dimiliki oleh benda-benda lain yang mencerap dengan mempergunakan sarana lahiriah seperti mata.
Kedua, mata indra tidak dapat melihat sesuatu yang terlalu dekat atau terlalu jauh, sementara bagi mata hati, soal jauh dan dekat adalah sama. Dalam sekejap, mata hati bisa terbang kelangit dan pada kejapan berikutnya ia meluncur turun kebumi. Bahkan, jika telah mencapai hakikat segala sesuatu, persoalan dekat  dan jauh menjadi hilang. Ketiga, mata indra tidak dapat menangkap sesuatu yang dbalik hijab (tabir) sementara mata hati bisa bergerak bebas, bahkan disekitar arasy (singgasana Tuhan), kursy, dan segala sesuatu yang berada dibalik selubung langit. Bahkan, tidak ada sesuatupun hakikat segala sesuatu yang terhijab bagi mata hati, kecuali ketika mata hati menghijab dirinya sendiri sebagaimana mata indra menutup dirinya denga kelopak matanya.
Keempat, mata indra hanya dapat menangkap bagian luar serta bagian permukaan segala sesuatu dan bukan bagian dalamnya atau hakikatnya, sementara mata hati mampu menerobos bagian dalam segala sesuatu dan segala rahasia-rahasianya, menangkap hakikat-hakikat dan ruh-ruhnya, menyimpulkan sebab-sebab, sifat-sifat, dan hukum-hukumnya. Kelima, mata indra hanya mampu menangkap sebagian kecil dari realiatas. Ia tidak mampu menangkap sesuatu yang terjangkau nalar dan perasaan, seperti rasa cinta, rindu, bahagia, gelisah, bimbang, dan seterusnya. Ia juga tidak mampu menangkap bunyi-bunyian, bau, rasa, dan sejenisnya. Jelasnya, mata indra tidak mempunyai jangkauan yang luas tetapi hanya terbatas pada alam warna dan bentuk; sesuatu yang menjadi bagian dari realitas paling rendah.[1]
Sementara itu, dari segi kuantitas, realitas ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu partikular (juz’iyyat) dan universal (kulliyyat). Partikular adalah wujud rinci yang diklasifikasikan berdasarkan atas 10 kategori Aristoteles: 1 substansi (jauhar) dan 9 aksiden (‘aradh), yaitu kuantitas (kammiyah), kualitas (kaifiyah), relasi (idhafah), dimana (aina), kapan (mata), postur (wadha’), posesi (lahu), aksi (an yaf ala) dan passi (an yanfa’ila). Kategori-kategori yang ditolak kaum neo-platonis ini karena dianggap mereduksi genus dan spesies tersebut, justru diterima Al-Ghazali secara absolut, bukan karena taklid, melainkan berdasarkan argumen rasional, yaitu bahwa 10 kategori tersebut oleh akal maupun indra, dan tidak satu pun dalam wujud ini yang tidak tercakup di dalamnya. Karena itu, tidak ada objek pengetahuan yang tidak masuk di dalam kategori ini dan tidak ada kata atau benda kecuali menunjukkan salah satunya.
Adapun realitas universal, Al-Ghazali membagi dalam dua bagian. Pertama, universal esensial (dzati) yang mencakup genus (jins), spesies (nau’), dan difference (fashl). Kedua, universal aksidental (‘aradh), baik yang khusus seperti tertawa pada manusia atau yang umum seperti sifat bergerak pada materi. Universal esensial adalah makna abstrak tanpa melihat atribut-atribut luar yang menyertainya, sedangkan universal aksidental adalah konsep abstrak yang merupakan generalisasi dari adanya kesamaan-kesamaan dari partikular-partikular. Perbedaan di antara keduanya adalah bahwa yang pertama ada dalam konsep mental sekaligus dalam realitas aktual, yaitu bahwa esensi dari unversalisme tersebut memang benar-benar wujud alam realitas; sementara yang kedua hanya ada dalam konsep mental, tidak ada dalam realitas aktual, karena tidak mungkin sesuatu yang satu menjadi atribut bagi berbagai partikular lainnya dalam waktu yang bersamaan.
Dengan konsep tersebut, yang dianggap universalisme dalam makna sesungguhnya (primer) adalah yang pertama, sedangkan universalisme kedua yang hanya ada dalam konsep mental adalah universalisme sekunder. Dengan itu pula konsep universal harus berkaitan dengan realitas partikular, karena dari partikular-partikular tersebut bisa muncul universal. Prosesnya, pertama-tama, indra memberi data-data kepada daya khayal berupa kopian atas objek-objek sensual sesuai dengan realitas yang ada. Kopian ini kemudian diolah oleh daya khayal, diklasifikasi unsur-unsur persamaan dan perbedaannya dengan yang lain sehingga diketahui sifat-sifat esensial dan aksidentalnya, sifat umum dan khususnya. Dari satuan-satuan konsep ini, jika hanya berkaitan dengan satu objek tertentu dengan segala atribut yang menyertainya akan menghasilkan makna partikular; dan jika berkaitan dengan objek-objek yang lain dan lepas dari atribut-atribut aksidentalnya menghasilkan makna universal.
Dengan konsep partikular-partikular tersebut, Al-Ghazali sesungguhnya dapat dianggap sebagai realis baru yang Platonik-Aristotelian tetapi tidak Aristotelian dan tidak Platonik. Al-Ghazali tidak disebut Aristotelian, karena ia masih mengakui adanya alam ghaib sebagai realitas objektif metafisis, sesuatu yang tidak dikenal oleh Aristoteles; juga tidak disebut Platonik karena Al-Ghazali masih menganggap adanya substansi partikular, sesuatu yang tidak diakui oleh Plato. Al-Ghazali menggunakan konsep ini tidak hanya dalam metafisis, tetapi juga menjadikannya sebagai landasan bagi hierarki ilmu dan prinsip-prinsip yurisprudensi (ushul al-fiqih) yang digagasnyya, yang kemudian hari dikembangkan lebih jauh dan serius oleh Al-Syathibi (1336-1388 M) dalam karyanya, al-Muwafaqat.[2]
B.     Sanggahan Al-Ghazali terhadap Para Filusuf
Al-Ghazali melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran para filosof. Adapun yang dimaksudkan para filosof di sini dalam berbagai literatur disebutkan ialah Aristoteles dan Plato juga Al-farabi dan Ibnu Sina karena kedua filosof  Muslim ini dipandang Al-Ghazali sangat bertanggung jawab dalam menerima dan menyebarluaskan pemikiran filosofis dari Yunani (Sokrates, Aristoteles, dan Plato) di dunia Islam. Kritik pedas tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang terkenal Tahafut al-Falasifat (The Incoherence of the philosopher; Kerancuan Pemikiran Para Filosof). Dalam buku ini ia mendemonstrasikan kepalsuan para filosof beserta doktrin-doktrin mereka. Sebelumnya, ia mempelajari filsafat tanpa bantuan seorang guru pun dan menghabiskan waktu selama dua tahun. Setelah berhasil dihayati dengan seksama, lalu ia tuangkan dalam bukunya maqashid al-Falasifat (Tujuan Pemikiran Para Filosof). Dengan adanya buku ini ada orang yang mengatakan bahwa ia benar-benar menguasai argument yang dipergunakan para filosof. Hal ini didukung oleh pendapat Al-Ghazali yang menegaskan bahwa menolak sebuah mazhab sebelum memahaminya dan menelaahnya dengan seksama dan sedalam-dalamnya berarti menolak dalam kebutaan.
Perlu dipahami bahwa pendapat seperti di atas perlu lebih dicermati, dari kehadiran buku Maqasid al-Falasifat itu dapat dikatakan bahwa Al-Ghazali menjelaskan maksud dan tujuan filsafat para filosof, yang tentu saja menurut Al-Ghazali dan belum tentu cocok dengan pendapat para filosof sendiri. Pendapat ini dapat dibuktikan ketika ia menkritik bahkan mengkafirkan para filosof yang sebenarnya berbeda dari maksud para filosof itu sendiri.[3]
Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dikemukakannya dalam bukunya tahafut Al-Falasifah, para pemikir bebas tersebut ingin menanggalkan keyakinan-keyakinan Islam dan  mengabaikan dasar-dasar pemujaan ritual dengan menganggapnya sebagai hal yang tidak berguna bagi pencapaian intelektual mereka. Kekeliruan filusuf tersebut ada mencakup 20 persoalan (16 dalam bidang metafisika dan 4 soal dalam bidang fisika), dalam 17 soal, mereka harus dinyatakan sebagai ahl al-bida’, sedangkan dalam tiga soal tersebut berlawanan sekali dengan pendirian semua kaum Muslimin.
Tiga persoalan yang menyebabkan para filusuf dipandang kafir adalah:
1.      Alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal;
2.      Tuhan tidak mengetahui perincian atau hal-hal partikular (juz’iyyat) yang terjadi di alam;
3.      Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasyr al-ajsad) di akhirat.[4]
Menurut Al-Ghazali kepercayaan dalam tiga masalahini bertentangan dengan kepercayaan umat Islam dan dipandang mendustakan rasul-rasul Allah, padahal tidak ada golongan Islam mana pun yang berpendapat seperti ini. Untuk lebih jelasnya, kita bahas uraian yang dikemukakan Al-Ghazali sebagai berikut:
1.      Masalah Keqadiman Alam
Pada umumnya para filosof Muslim berpendapat bahwa alam itu qadim, artinya wujud alam bersamaan dengan wujud Allah. Keterdahuluan (keqadiman) Allah dari alam hanya dari segi at (taqaddum zaty) dan tidak dari segi zaman (taqaddum zamany), seperti keterdahuluan sebab dari akibat dan cahaya dari matahari.
Sebenarnya pertentangan antara Al-Ghazali dan filosof Muslim tentang qadimnya alam hanya pertentangan penafsiran antara teolog muslim dan filosof muslim. Memang filosof muslim berkeyakinan bahwa penciptaan dari tiada (nihil) adalah suatu kemusahilan. Dari nihil yang kosong tidak bisa timbul sesuatu. Hal yang terjadi ialah sesuatu yang diubah menjadi sesuatu yang lain. Justru itu materi asal (al-hayula al-ula), yang darinya alam ini disusun, mesti qadim. Materi asal ini diciptakan Allah secara emanasi sejak qadim dan tidak diantarai oleh zaman. Oleh karna itu, apa yang diciptakan semenjak qidam dan azali tentu ia akan qadim dan azali. Justru itu alam ini qadim pula. Interpretasi filosof Muslim ini sudah jelas lebih liberal dari teolog Muslim dan juga dipengaruhi oleh ilmu alam, akni antara sebab dan musabbab tidak ada perbedaan. Allah menciptakan alam semenjak azali, berarti materinya berasal dari energi yang qadim. Sementara susunan materi yang menjadi alam adalah baru.
Bagi Al-Ghazali, teolog al-Asy’ari yang paling artikulasi dan terbesar pengaruhnya pada umat islam,kadim mengandung arti tidak berawal, tidak pernah tidak ada dimasa lampau. Oleh karna itu bisa membawa pengertian ala mini tidak diciptakan. Menurut al-Ghazali (juga teolog muslim lain) bahwa yang kadim hanya Allah, sedangkan selain Allah adalah hadis (baharu). Justru itulah dalam ilmu kalam syahadat lailaha illa Allah, bararti la qadima illa Allah. Implikasi paham ini akan membawa pada: (1) Paham syirik karena banyak yang qadim, banyaknya Tuhan; (2) Paham atheisme, alam yang qadim tidak ada pencipta.
Kedua paham ini, menurut Al-Ghazali, secara tegas tentu saja bertentangan dengan ajaran dasar dan absolut dalam islam. Oleh karena itu, menurutnya, alam ini diciptakan oleh Allah dari nihil menjadi ada (al-ijad min al-adam, creation ex nihilo) dan hal ini dapat didemonstrasikan secara rasional.
Pendapat Al-Ghazali ini, sebagai teolog muslim, tentu saja dipengaruhi oleh paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, artinya Allah dapat berbuat apa pun tanpa ada yang menghalangi-Nya. Oleh karna itu, tidaklah mengherankan jika ia berpendapat bahwa alam ini diciptakan oleh Allah sesuai dengan kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya.[5]
2.      Tuhan tidak mengetahui Juz’iyyat (Parsial)
Para filosof muslim, menurut Al-Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui dzat-Nya (juz’iyyat). Ibnu Sina mengatakan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang kulli. Alasan para filosof muslim, Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat, bahwa di alam ini selalu terjadi perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rinci perubahan tersebut, hal itu akan membawa perubahan pada zat-Nya. Perubahan pada objek ilmu akan membawa perubahan pada yang punya ilmu (bertambah atau berkurang). Ini mustahil terjadi pada Allah.
Pendapat para filosof muslim yang dikemukakan Al-Ghazali di atas dijawabnya sendiri. Menurutnya pendapat para filosof itu merupakan kesalahan fatal. Menurut Al-Ghazali lebih lanjut, perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu merupakan idhafah (sesuatu rangkaian yang berhubungan dengan dzat). Jika ilmu berubah tidak membawa kepahaman pada dzat, dengan arti keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Lebih lanjut Al-Ghazali mengemukakan ilustrasi, bila seseorang berada disebelah kanan anda, lalu berpindah kesebelah kiri, kemudian berpindah kedepan atau kebelakang, maka yang berubah dia bukan anda. Demikian pula ilmu Allah. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya itu mengalami perubahan. Untuk memperkuat argumennya, Al-Ghazali mengemukakan ayat-ayat Al-Qur’an, diantaranya:
a.    QS. Yunus [10]: 61
وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَلَا أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْبَرَ
 ...tidak luput dari pengetahuan tuhanmu biarpun sebesar arrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (lauh mahfuzh)…
b.   QS. Al-Hujurat [49]: 16
وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
...dan Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah maha mengetahui segala sesuatu
Perbedaan pendapat antara Al-Ghazali dan para filosof tentang pengetahuan Allah ini wajar terjadi. Menurut para filosof Muslim berbedanya objek ilmu membawa perubahan pada ilmu dan dzat. Sementara menurut Al-Ghazali berbedanya objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu dan dzat. Perbedaa prinsip akan menyebabkan perbedaan kesimpulan. Al-Ghazali berusaha menarik masalah pada tataran kongkret, sedangkan para filosof menarik masalah pada tataran abstrak.
3.      Kebangkitan Jasmani di Akhirat
Mengenai kebangkitan di akhirat, para filsuf memandangnya bersifat rohaniah, dan terbebas dari unsur-unsur kebendaan. Hal ini karena masalah kerohaniahan adalah lebih tinggi nilainya, demikian pula yang berkaitan dengan ke-lezatan dan siksaan di akhirat bersifat lebih tinggi atau lebih dasyat. Sebab itu, tidak ada keharusan kebangkitan yang bersifat jasmani.[6]
Para filusuf Muslim berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad semula. Menurut mereka, rohani setelah berpisah dengan jasad, berarti kehidupan telah berakhir dan tubuh telah hancur. Penciptaan kembali berarti penciptaan baru yang tidak sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal ini berarti mengimplikasikan kadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi, jika andaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh  jalan yang sulit dan panjang, seperti adanya manusia yang cacat, pincang dan lainny, maka di surga nanti aka nada sifat kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya. Padahal di surga suci dari demikian. Jika tidak demikian, maka akan terjadi proses yang panjang, seperti panjangnya proses kapas sampai menjadi kain.
Menurut Al-Ghazali, kekalnya jiwa setelah mati tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Hadis-hadis menyebutkan pula bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atau siksa kubur dan lain-lain. Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sementara itu, kebangkitan jasmani secara ekspilit telah ditegaskan syaaa’ (agama), dengan arti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru dijadikkan. Karena tubuh manusia dapat berganti bentuk , seperti dari kecil menjadi besar, dari kurus menjadi gemuk, dan sebaliknya. Hal yang penting ada suatu tubuh berbentuk jasmani yang dapat merasakan kepedihan dan kebahagiaan. Allah Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu. Allah dengan kemahakuasaan-Nya tidak merasa sulit menjadikan dari setitik sperma menjadi aneka macam organ tubuh, seperti tulang daging, kulit, urat saraf, otot, lemak, dan sebagainya. Dari hasil ini ia mempunyai lidah, mata, gigi, dan perasaan yang berbeda antara setiap manusia. Justru itu bagi Allah jauh lebih mudah mengembalikan rohani pada tubuh (jasmani) di akhirat ketimbang penciptaan pertama kali.[7]
Dari uraian di atas dapat ditarik suatu pengertian bahwa yang dikehendaki para filusuf adalah kemungkinan yang rasional tentang kebangkitan dan kehidupan akhirat. Para filusuf dan Al-Ghazali sama-sama meyakini adanya “kebangkitan” di akhirat. Perbedaannya adalah bentuk dan bagaimana cara kebangkitan itu. Bagi filsuf secara rohaniah, sedangkaan  bagi Al-Ghazali secara jasmaniah dan rohaniah.[8]













BAB III
PENUTUPAN
A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: pertama, pembagian tentang bentuk dan tingkat kualitas alam oleh Al-Ghazali menjadi dua bagian, yaitu alam atas dan bawah, yang masing-masing termanifestasikan oleh alam malakut yang bersih dan mulia dan alam yang kasat mata dan rendah. Para filusuf sebelumnya juga telah menyatakan hal itu, meski dengan format yang berbeda. Namun, yang berbeda dari Al-Ghazali, tingkatan ini tidak tersusun secara emanasi sebagaimana pemikiran filsafat, tetapi berdasarkan imkan yang biasa dikaji dalam teologi, yaitu bahwa alam dicipta dari sesuatu yang tiada (creation ex nihilo). Kedua, pemikiran Al-Ghazali tentang dua kutub realitas, particular dan universal, yang keduanya sama-sama merupakan substansi yang mempunyai bangunan tersendiri tapi saling berkaitan. Dengan pemikiran ini, doktrin kaum teolog bahwa semesta diciptakan dari sesuatu yang tiada, bisa dijelaskan sehingga pebedaan doktrin teologi dan filsafat bisa diselesaikan.
Terjadinya perbedaan pandangan antara Al-Ghazali dan para filusuf Muslim karena masing-masing berangkat pada titik pijak yang berbeda. Para filusuf muslim bertolak dari rasio, sedangkan Al-Ghazali bertolak dari empirik keagamaan. Interpretasi filusuf Muslim juga lebih liberal dibandingkan dengan teolog Muslim (Al-Ghazali).
B.     Saran
Dalam pembuatan makalah ini, kami sebagai penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan, Oleh karena itu penulis mengharapkan kepada para pembaca agar memberikan kritik dan saran demi penyempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
A. Khudori Soleh, Filsafat Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Juhaya S. Praja, Pengantar Filsafat Islam (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya), Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.























[1]A. Khudori Soleh, Filsafat Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 136-139.
[2] Ibid, 141-143.
[3] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 163-164.
[4] Juhaya S. Praja, Pengantar Filsafat Islam (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya), (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 173-174.
[5] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), 171-172.
[6] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), 86.
[7] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), 176-177.
[8]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, 86.

No comments:

Post a Comment